Makalah Teori Ilmiah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sungguh luar
biasa jika kita merenungkan sejenak tentang penciptaan diri kita. Allah
menciptakan semua manusia dengan sebaik-baik penciptaaan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt di dalam Al-Quran Surat At-Tiin ayat ke 4. Kita semua telah
mengetahui bahwa Allah telah memberi akal kepada manusia agar untuk selalu
berfikir atas apa yang Ia ciptakan di dunia ini. Manusia adalah makhluk
berfikir. Dikatan demikian karena diantara sekian banyaknya makhluk yang ada di
dunia ini, hanya manusia yang diberikan akal oleh Allah sebagai sarana untuk
selalu berpikir.
Coba kita
perhatikan kehidupan kita (manusia) sendiri, perjalanan hidup manusia dari
bentuk yang paling sederhana adalah bahwa manusia itu selalu berinteraksi dengan
fenomena-fenomena alam sekitarnya yang sangat mempengaruhi hidup manusia. Hal
ini telah membuat dan memaksa manusia untuk selalu berpikir serta melakukan
penelitian dan eksperimen-eksperimen secara terus menerus dalam rangka
mempelajari dan memahami kenyataan alam itu sendiri. Penelitian dan
eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh manusia itu telah melahirkan berbagai
macam bentuk kesimpulan yang kemudian dalam tahap perkembangan selanjutnya akan
melahirkan sebuah teori.
Manusia memiliki
akal untuk memikirkan alam ini yang pada akhirnya akan melahirkan teori. Dari
teori inilah manusia mengembangkannya menjadi basis dari sistem teknologi.
Kehadiran teknologi telah merubah pola hidup manusia dan memberikan pengaruh
dan terhadap alam. Perubahan alam akan mengakibatkan dan menimbulkan pengaruh
dari teknologi itu kemudian melahirkan sebuah teori baru lagi yang
kemungkinannya dapat menguatkan ataupun membatalkan, membantah teori
sebelumnya.
Proses
perkembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) merupakan hasil dari penemuan dan penelitian
yang dilakukan manusia sebelumnya. Sebenarnya perkembangan tersebut selalu
diawali dengan rasa keingintahuan yang kuat dan tekad manusia itu sendiri yang
sangat besar bahkan Paul Leady mengatakan bahwa ”Man is curious animals”.
Keingintahuan tersebut itulah yang selalu
mendorong manusia untuk berupaya menjawab kenyataan-kenyataan alamiah
yang ada di dunia ini lewat berbagai cara, dan hal ini mendorong perkembangan
ilmu dan pengetahuan.
Selain itu, ciri
khas manusia yang selalu ingin tau tersebut tidaklah pernah berhenti dan juga
tidak pernah puas. Setelah puas mengetahui suatu pengetahuan manusia akan terus
mencari tau pengetahuan-pengetahuan yang baru dan tidak akan berhenti. Hal ini
juga yang mendorong manusia mengembangkan berbagai cara/metode untuk menjawab
rasa keingintahuan yang mereka alami. Di dalam tulisan ini akan di paparkan
berbagai aspek yang di kembangkan manusia mengenai pengertian teori ilmiah
serta sifat dasar teori ilmiah itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka melahirkan serta menimbulkan beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan
teori ilmiah ?
2.
Bagaiman sifat dari teori
ilmiah ?
3.
Serta bagaimana kegunaan
dari teori itu sendiri ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapaun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah agar kita mengerti serta memahami apa yang dimaksud dengan
teori ilmiah dan sifat dasar teori ilmiah serta kita bisa menemukan teori-teori
baru dan memabatlakan teori-teori yang selama ini salah ataupun tidak masuk
akal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Teori Ilmiah
Teori Ilmiah terdiri dari dua kata
yang masing-masing memiliki arti atau pengertian yang berbeda. Kata “teori” secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theorea, yang berarti
melihat, theoros yang berarti pengamatan. Sedangkan secara terminologi
teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa,
kejadian yang sebenarnya, serta bisa didefinisikan atau bisa juga diartikan
sebagai pendapat, cara atau aturan untuk melakukan sesuatu.
“A theory is a set of interrelated constructs
(concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of
phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of
explaning and predicting the phenomena.” Di dalam definisi ini terkandung tiga
konsep penting. Pertama, suatu teori adalah satu set proposisi yang terdiri
atas konsep-konsep yang berhubungan. Kedua, teori memperlihatkan hubungan
antarvariabel atau antar konsep yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik
tentang fenomena. Ketiga, teori haruslah menjelaskan variabelnya dan bagaimana
variabel itu berhubungan. (Kerlinger 1973:9)
Teori adalah serangkaian bagian
atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan
sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar
variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan TEORI sebagai ide
pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan”
bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling
berhubungan. Oleh (John W Creswell,
Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, (London: Sage, 1993)
hal 120)
Dalam ilmu pengetahuan, teori
dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan
fenomena tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan dan dievaluasi menurut meode
ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.
Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena
tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam atau tingkah
laku hewan). Sebuah teori membentuk generalisasi atas banyak pengamatan dan
terdiri atas kumpulan ide yang koheran
dan saling berkaitan.
Di samping itu teori dianggap juga
sebagai seperangkat hubungan antara proposisi yang bersifat logis dan dapat
diuji secara emperis. Teori tersebut berupa menyimpulkan generalisasi
fakta-fakta, meramalkan gejala-gejala baru dan mengisi kekosongan pengetahuan
tentang gejala-gejala yang telah ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
teori itu terdiri dari beberapa hal yaitu antara lain :
1.
Ada gejala yang diamati
2.
Pada gejala tersebut terjalin hubungan
keterkaitan, logis dan sistematis
3.
Ada generalisasi, analisis deduktif
4.
Bersesuaian dengan realitas, dapat
dibuktikan.
Sedangkan kata ilmiah menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) “il.mi.ah a bersifat ilmu; secara ilmu
pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan”. Dan kata ilmiah juga terambil
dari kata “ilmu” sehingga demikian kata ilmiah dimaknai sesuatu yang sesuai
dengan metode dan prinsip keilmuan. Dan diantara prinsip ilmu itu antara lain:
logis, sistematis dan dapat dibuktikan. Kesemua prinsip ini telah tercakup pada
empat poin definisi di atas.
Dengan demikian, teori merupakan
salah satu konsep dasar penelitian sosial. Teori adalah seperangkat
konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan
sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi
Sebuah teori ilmiah dalam sains
menyimpulkan sekumpulan hipotesis yang telah didukung oleh uji coba yang
berulang. Jika bukti sudah terkumpul untuk menyokong sebuah hipotesis, maka
hipotesis akan berubah menjadi teori di tahapan berikutnya dalam proses metode
ilmiah. Yang berarti teori diterima sebagai penjelasan sah suatu fenomena.
Perbandingan dikonteks tidak
ilmiah (non-sains), kata “teori” mengimplikasi sesuatu yang belum terbukti atau
spekulatif. Teori ilmiah dalam sains adalah penjelasan atau model yang
berbasiskan observasi, eksperimentasi dan nalar/pertimbangan, terutama ketika
sesuatu sudah dites dan dikonfirmasi sebagai kaidah umum yang membantu
menjelaskan dan memprediksi gejala alam.
Teori adalah fondasi untuk
mendorong lebih jauh ilmu pengetahuan/sains dan untuk mengolah informasi untuk
kegunaan sehari-hari. Kesehariannya para ilmuwanpun menggunakan teori-teori
untuk menciptakan teknologi baru atau menemukan pengobatan baru untuk penyakit.
Setiap teori bisa dikatakan
sebagai dugaan sementara, karena hal tersebut mesti memerlukan pembuktian.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sitirahayu Haditono (1999), bahwa suatu teori akan
memperoleh arti penting mana kala ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan
dan meramalkan gejala-gejala yang ada
B. Sifat
Dasar Teori Ilmiah
Seorang peneliti harus menguasai
teori-teori ilmiah sebagai dasar bagi argumentasi dalam menyusun kerangka konseptual
yang membuahkan hipotesisi. Kerangka konseptual ini merupakan penjelasan
sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi obyek permasalahan.
Teori ilmiah manapun harus
didasarkan pengamatan yang teliti dan rasional akan fakta. Dalam metode ilmiah,
ada perbedaan yang mendasar antara fakta (yang dapat diobserverasi dan/atau
diukur) dan teori yang merupakan penjelasan oleh para ilmuwan dan interpretasi
dari fakta. Para ilmuwan bisa saja memiliki penafsiran yang berbeda dari hasil
percobaan dan pengamatan, tetapi kenyataannya (yang merupakan tolak ukur dari
metode ilmiah) tidaklah berubah.
Sebuah teori harus bisa merangkum
pernyataan-pernyataan yang pengamatan sebab-akibat. Sebuah teori yang baik
(seperti teori Netwon akan Gravitasi) memiliki kesatuan, yang isinya terdiri
dari sekumpulan langkah pemecahan masalah. Langkah-langkah yang dapat
diaplikasikan dalam jangkauan lingkungan ilmiah yang luas. Ciri lain dari teori
ilmiah yang baik adalah ia terbentuk dari beberapa kumpulan hipotesis yang
dapat di uji secara terpisah.
Sebuah teori ilmiah bukanlah hasil
akhir dari suatu kegiatan metode ilmiah; teori-teori yang dihasilkan bisa saja
suatu saat dibuktikan atau ditolak, seperti hipotesis. Teori-teori juga bisa
diimprovisasi atau diubah. Ketika lebih banyak informasi-informasi yang
dikumpulkan mengenai sebuah teori, teori tersebut semakin lama akan semakin
meningkat tingkat akurasinya untuk memprediksi suatu fenomena.
Teori ilmiah merupakan keterangan
yang bersifat sementara mengenai fenomena. Dari keterangan ini, ilmuwan kelak
dapat membuat acuan, prediksi dan melakukan pengontrolan.
Secara terinci teori ilmiah ditandai
oleh hal-hal berikut (Jalaludin, 2000: 06 ) :
a.
Teori terdiri dari proporsisi-proporsisi.
Proporsisi adalah hubungan yang terbukti di antara berbagai vatiabel.
Proporsisi ini biasanya dinyatakan dalam bentuk ”jika, maka”.
b.
Konsep-konsep dalam proporsisi telah dibatasi
pengertiannya secara jelas. Pembatasan konsep ini menghubungkan abstraksi
dengan dunia empiris.
c.
Teori harus mungkin diuji, diterima atau
ditolak kebenarannya. Pembatasan pengertian konsep yang dipergunakan
menyiratkan kemungkinan pengujian teori.
d.
Teori harus dapat melakukan prediksi. Teori
agresi dapat meramalkan bahwa bila guru selalu menghambat tingkah laku anak,
frekuensi agresi akan bertambah.
e.
Teori harus dapat melahirkan
proposisi-proporsisi tambahan yang semula tidak diduga.
Di dalam buku Orientasi ke arah
pemahaman (Mukhtar Latif, 2014) Popper berpendapat, bahwa teori ilmiah
mutakhir secara prinsif dapat disalahkan dan bertahan di hadapan observasi dan
pengalaman yang berpotensi salah.
Sebaliknya, teori yang bertentangan telah bertolak dengan bukti.maka, dalam
standar sains Popper, suatu teori dapat masuk ke dalam wacana ilmiah (yang
dipertimbangkan secara serius) jika dapat dibuktikan, akan dibuang jika telah
bertolak, akan diterima sementara jika dapat lulus secara uiian.
Dari uraian Popper di atas dapat
disimpulkan bahwa teori ilmiah harus memiliki landasan, antara lain :
1.
Dapat disalahkan dan bertahan di hadapan
observasi dan pengalaman yang berpotensi salah.
2.
Dapat dipertimbangkan jika dapat dibuktikan
3.
Akan diterima sementara jika dapat lulus
secara ujian
4.
Dapat diuji atau diverifikasi
Di dalam buku Filsata Ilmu dan
Metode Penelitian (Sigit Suyantoro ; 2007) dijelaskan bahwa, teori
mempunyai peranan dalam pengembangan ilmu, yaitu sebagai orientasi, sebagai
konseptual dan klasifikasi, secara generalisasi, sebagai peramal fakta dan
sebagai points to gaps in our knowledge.
1.
Teori sebagai orientasi: Memberikan suatu orientasi kepada
para ilmuwan sehingga dengan teori tersebut dapat mempersulit cakupan yang akan ditelaah sedemikian rupa sehingga
dapat menetukan fakta-fakta mana yang diperlukan.
2.
Teori sebagai konseptual dan klasifikasi : Dapat memberikan petunjuk
tentang kejelasan hubungan antara konsep-konsep dan fenomena atas dasar
klasifikasi tertentu.
3.
Teori sebagai generalisasi (summarizing) : Memberikan rangkuman terhadap
generalisasi empirik dan antar hubungan dari berbagai proposisi (teorema:
kesimpulan umum yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, baik yang akan
diuji maupun yang telah diterima).
4.
Teori sebagai peramal fakta : yang dimaksud dengan meramal
ialah berpikir deduktif dengan konsekuensi-konsekuensi logis (baik menurut
waktu maupun tempat). Jadi teori membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta
denga cara membuat ekstrapolasi dari yang sudah diketahui kepada yang
belum diketahui.
5.
Teori sebagai to gaps in our knowledge : Teori menunjukan adanya
senjangsenjang dalam pengetahuan kita; “sepandai-pandai tupai melompat sekali
akan gagal juga” : sepandai-pandai ahli
teori tentu tidak dapat secara lengkap
menyusun teori yang telah menjadi pengetahuan itu, yang dengan demikian memberi
kesempatan kepada kita untuk menutup kesenjangan tadi dengan melengkapi,
menjelaskan dan mempertajamnya.
Dari uraian tersebut, bahwasannya
teori mempunyai peranan penting baik itu sebagai orientasi, sebagai konseptual,
ataupun sebagai peramal fakta.
C. Fungsi
Teori Ilmiah
Setelah kita melihat dari
penjelasan-penjelasan di atas, dapat kita artikan bahwa teori ilmiah sangatlah
penting dan memiliki fungsi yang saklar dalam penelitian sesuatu.
Sifat dan tujuan teori menurut
Abraham Kaplan (1964) adalah bukan semata untuk menemukan fakta yang
tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melihat fakta, mengorganisasikan
serta merepresentasikan fakta tersebut. Teori yang baik adalah teori yang konseptualisasi
dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan
nyata. Apabila konsep dan penjelasan teori tidak sesuai dengan realitas, maka
keberlakuannya diragukan dan teori demikian tergolong teori semu.
Menurut Littlejohn (1996) fungsi
teori ada 9 (sembilan) yaitu:
1.
Mengorganisasikan dan menyimpulkan
Kita tidak melihat dunia dalam
kepingan-kepingan data. Sehingga dalam mengamati realitas kita tidak boleh
melakukannya setengah-setengah. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan
hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus
dapat dicari dan ditemukan. Kemudian diorganisasikan dan disimpulkan. Hasilnya
berupa teori dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi
berikutnya.
2.
Memfokuskan
Teori pada dasarnya hanya menjelaskan tentang
suatu hal bukan banyak hal. Untuk itu aspek-aspek dari suatu objek harus jelas
fokusnya.
3.
Menjelaskan
Teori harus mampu membuat suatu penjelasan
tentang hal yang diamatinya. Penjelasan ini berguna untuk memahami pola-pola,
hubungan-hubungan dan juga menginterpretasikan fenomena-fenomena tertentu. Atau
dengan kata lain teori-teori menyediakan tonggak-tonggak penunjuk jalan untuk
menafsirkan, menerangkan dan memahami kompleksitas dari hubungan-hubungan
manusia.
4.
Mengamati
Teori tidak hanya menjelaskan tentang apa
yang sebaiknya diamati tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara
mengamatinya. Terutama bagi teori-teori yang memberikan definisi-definisi
operasional, teoretikus bersangkutan memberikan kemungkinan indikasi yang
paling tepat mengenai apa yang diartikan oleh suatu konsep tertentu. Jadi
dengan mengikuti petunjuk-petunjuk kita dibimbing untuk mengamati seluk beluk
yang diuraikan oleh teori itu.
5.
Membuat prediksi
Fungsi prediksi ini dengan berdasarkan data
dan hasil pengamatan maka harus dapat dibuat suatu perkiraan tentang keadaan
yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin
dalam kehidupan di masa sekarang.
6.
Heuristik (membantu proses penemuan)
Sebuah aksioma yang terkenal adalah bahwa
suatu teori yang baik melahirkan penelitian. Teori yang diciptakan harus dapat
merangsang timbulnya upaya-upaya penelitian selanjutnya.
7.
Mengkomunikasikan pengetahuan
Teori harus dipublikasikan, didiskusikan, dan
terbuka terhadap kritikan-kritikan. Sehingga penyempurnaan teori akan dapat
dilakukan.
8.
Kontrol/mengawasi
Fungsi ini timbul dari persoalan-persoalan
nilai, di dalam mana teoretikus berusaha untuk menilai keefektifan dan
kepatutan perilaku tertentu. Teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali
atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
9.
Generatif
Fungsi ini terutama sekali menonjol dikalangan pendukung
aliran interpretif dan teori kritis. Menurut mereka, teori juga berfungsi
sebagai sarana perubahan sosial dan kultural, serta sarana untuk menciptakan
pola dan cara kehidupan yang baru.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa teori ilmiah mempunya beberapa fungsi, diantarany adalah
mengorganisasikan, menyimpulkan, memfokuskan, menjelaskan, mengamati, membuat
prediksi, membantu proses penemuan, mengkomunikasikan pengetahuan serta
mengawasi atau mengontrol pengetahuan itu sendiri.
D. Teori
Kebenaran sebagai Alat Uji Teori Ilmiah
Menurut DR. Ahkyar Yusuf di dalam bukunya (Filsafat
Ilmu Klasik hingga Kontemporer ) dijelaskan bahwa untuk menjadi teori ilmiah,
suatu ilmu harus diuji terlebih dahulu. Alat penguji ilmu tersebut bernama
teori kebenaran.
Dalam epistemologi dan filsafat
ilmu pengetahuan dikenal sejumlah teori kebenaran, yaitu :
1.
Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi
menyatakan bahwa satu teori/proposisi benar bila proposisi atau teori itu
sesuai dengan fakta (kenyataan). Kebenaran adalah kesetiaaan pada realitas
objektif. Aristoteles menyebut ini dengan teori penggambaran/cermin yang ia
rumuskan sebagai “veritas est adaequatio intellectus et rhei”.
Teori kebenaran ini didukung dan
diterima oleh pendukung epistemologi empiris (positivisme ilmiah), seperti pada
ilmu-ilmu alam atau ilmu sosial, budaya yang menuntut penerapan metode ilmu
alam pada ilmu sosial budaya . kaum positivisme menganggap bahwa teori
menggambarkan realitas apa adanya (copy theory, mirror theory). Karena
itu, verifikasi dijadikan sebagai kriteria untuk keilmiahan. Masalah yang
muncul pada teori ini adalah bagaimana kita tahu bahwa ide, gagasan, dan teori kita sama dengan
kenyataan (realitas) ? Apakah mungkin fakta (realitas) itu bicara tanpa bantuan
teori ? Apakah mungkin objektivitas tanpa ada subjektivitas ?.
Tokoh post positivisme dan post
modernisme menjelang akhir abad ke- 20 banyak mengkritik pandangan postivisme
dan teori korenpondensi ini, dengan mengemukakan argumen-argumen yang sangat
menarik.
2.
Teori Kebenaran Konsistensi atau Koherensi
Dalam teori konsistensi atau
koherensi, kebenaran adalah adanya saling hubungan antar putusan-putusan
atau kesesuaian/ketaat-asasan dengan
kesepakatan atau pengetahuan yang telah dimiliki. Teori kebenaran ini umumnya
terdapat dalam matematika dan logika atau kelompok epistemologi idealis (epistemological
idealism). Bagi penganut teori kebenaran ini, konsistensi suatu pernyataan
atau teori dengan sistem pernyataan sebelumnya sudah diandaikan kebenarannya
dan menjadi tolak ukur kebenaran.
Logika dan matematika adalah
contohnya dan memilik keunggulan jika dibandingkan dengan bahasa, karena
dikontruksi berdasarkan lambang. Konvensi-konvensi dan aturan yang tidak
memungkinkan ambiguitas arti. Ciri matematika : brevity (ringkas), consistency
(taat asas), precise abstraction (kesamaan
abstraksi), merupakan keunggulan matematika. Karena itu konsep “meaning” (makna;
“truth”/kebenaran), dan “cretainty” (kepastian) lebih mudah
diterpkan pada bidang ini daripada bidang pada ilmu lain. Walaupun demikian,
dalam matematika ketidakpastian juga dikenal dengan mengajukan tingkat peluang
(probability). Kaum rasionalis menjadikan prinsip matematika dan logika
deduktif ini turun ke dunia nyata (realitas), karena asumsi adanya kesejajaran
antara rasio dan realitas (sebagaimana dikemukakan Pythagoras dan Hegel). Jadi,
realitas dilihat sebagai kesatuan sistem, dan bagian-bagiannya akan diketahui
bila prinsip yang mendasari keseluruhan itu sudah diketahui. Hegel merumuskan
prinsip ini melalui pernyataan bahwa “kebenaran itu adalah keseluruhan” (das
Whare ist Ganze).
Kelemahan teori ini adalah bahwa
orang dapat saja membangun satu teori/sistem yang koheren (konsisten), akan
tetapi sebenarnya salah karena tidak didukung oleh fakta. Jadi, teori ini tidak
membedakan antara teori yang “konsisten-salah” dengan teori yang salah
“konsisten-benar”.
3.
Teori Kebenaran Pragmatis
Pragmatisme adalah aliran filsafat
yang lahir di Amerika Serikat akhir abad ke- 19, yang menekankan pentingnya
akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving)
dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis.
Tokoh pragmatisme awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal
juga sebagai tokoh semiotik, William James (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952) (Honderich, 1995).
Sebagai seorang pragmatis, William
James menolak “teori cermin” (mirror theory) atau sebagai “gambar
realitas” (picture theory) dan menggantinya dengan prinsip kegunaan atau
kemanfaatan. Dengan kata lain, benar-tidaknya satu teori justru ditentukan oleh
bermanfaat-tidaknya suatu teori dalam praktis kehidupan. Benar-tidaknya satu
teori ditentukan oleh manfaat dan efektivitasnya untuk memecahkan masalah
kehidupan sehari-sehari. Rumusan William James tentang teori kebenaran
pragmatis ini adalah sebagai berikut, “something is true if it works”. Truth
is a “thing done”, a function of
practical value, made to happen (Hunnex, 1986: 35). Dengan demikian kaum
pragmatis menolak intelektualisme dan absolutisme (kebenaran mutlak) karena
semua pengalaman manusia bersifat parsial, sementara, dan situasional. Karena
itu, yang ada adalah kebenaran-kebanran (sesuai dengan pengalaman khusus) dan
pengalaman itu dapat berubah/diubah oleh pengalaman berikutnya.
Selanjutnya, Jhon Dewey
berpendapat bahwa filsafat bertugas membeikan pengarahan dalam kehidupan kita.
Sementara kehidupan dan pengalaman, juga pemahaman manusia itu, berjalan dan
berkembang terus dari satu era ke era berikutnya. Jika ilmu pengetahuan dan
filsafat sebagai problem solving, maka ilmu pengetahuan dan filsafat
yang berkembang akan sejalan dengan perkembangan budayanya. Dengan demikian,
pengalaman dan kesadaran dalam pragmatisme sangat bersifat ilmiah. Filsafat
harus bertolak dari pengalaman dan mengolahnya secara aktif dan kritis.
Mengingat metode ilmiah adalah cara atau alat penataan pengalaman, maka bagi
Dewey, filsafat dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai alat untuk bertindak
dengan mempertimbangkan berbagai
konsekuensinya bagi masa depan. Karena itu, William James dan John Dewey
lebih senang menggunakan istilah instrumentalisme dari pada pragmatisme. Alasan
yang sama pula diberikan kenapa kebenaran teori pragmatis ini disebut juga
kebenaran instrumentalis (Dewey, 1929; 1939).
4.
Teori kebenaran permformatif
Teori ini berasal dari John
Langshaw Austin (1911-1960), seorang filsuf Inggris yang mengemukakan teori
tindak bahasa (speech-acts). Austin tidak begitu tertarik membicarakan
bahasa sebagai pemaparan realitas (fakta atomik). Ia mengarahkan analisisinya pada pemakaian bahasa
sehari-hari. Ia menbedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu proposisi atau
tuturan konstatif dan proposisi atau turunan performatif dengan
aturan/kriterianya sendiri. Selain melaporkan sesuatu (fakta) yang dapat
diverifikasi (sebagaimana yang dilakukan kaum positivisme melalui bahasa ilmiah
yang disebutnya sebagai tuturan konstatif), bahasa dapat pula bersifat
performatif. Artinya, dalam suatu tuturan terkandung satu komitmen untuk
melakukan apa yang dikatakan. Jadi,
bahasa tidak hanya menyatakan sesuatu (locutionary act), akan
tetapi juga melakukan apa yang dikatakan
(illocutionary act), dan menghasilkan sesuatu (perlocutionary act). Disamping
itu, bahasa juga dapat menciptakan
komunikasi (interlocutary act).
Teori kebenaran performatif yang
disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang
dihubungkan dengan satu pernyataan. Apabila seorang menteri menyatakan, “Dengan
ini, seminar resmi saya buka”, naka sang menteri tidak menyatakan suatu
benda-objek indrawi akan tetapi suatu pernyataan yang berkaitan dengan
tindakan. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan
kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance)
dilakukan. Karena tuturan itu menyatakan suatu perbuatan, maka disebut
dengan tuturan performatif. Dengan
demikian, kebenaran perfromatif maksudnya adalah bahwa satu pernyataan
dikatakan benar bila apa yang dinyatakan (oleh seseorang) dilakukan sesuai
dengan tindakan dan kewenangan yang ada padanya.
Tuturan performatif, menurut
Austin, tidak dinyatakan benar atau salah, akan tetapi berhasil atau gagal, yakni
berasarkan apakah perbuatan yang dinyatakan itu dilakukan atau tidak. Ia
mengklasifikasikan tuturan performatif atas wajar atau tidak wajar (happy or
unhappy). Untuk menentukan apakah satu tuturan performatif wajar atau
tidak, Austin mengajukan enam (di sini disederhanakan menjadi empat) syarat
tuturan performatif yang wajr, antara lain :
a.
Tuturan itu dituturkan dalam situasi yang
tepat sehingga pernyataan mempunyai efek
bagi tindakan. Dekrit Gus Dur adalah contoh tuturan performatif yang tidak
sesuai dengan situasi (sosila-politik-hukum) sehingga tuturan performatif ini
gagal (maksudnya tidak menghasilkan tindakan yang sesuai dengan dekrit, maalah
sebaliknya).
b.
Harus diucapkan orang yang memiliki
kompetensi/wewenang untuk itu.
c.
Harus ada tanggapan danketerbukaan dari kedua belah pihak, sehingga tuturan
benar-benar menjadi tindakan.
d.
Ada kesesuaian anatara ucapan orang yang
menyatakan tuturan dengan tindakannya sendiri. Tanpa ada kesesuaian antara
keduanya maka muncul inkonsistensi atau kebohongan
5.
Teori Kebenaran Paradigmatis dan Konsensus
Teori kebenaran paradigmatik dapat
diturunkan dari konsep paradigma Thomas Samuel Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu
pengetahuan dikontruksi atas paradigma tertentu. Dalam dunia ilmiah ada
sekelompok ilmuwan (komunitas ilmuwan) yang mendukung paradigma tertentu
(misalnya dalam psikologi terdapat paradigma psikonalisa, paradigma
behaviorisme, paradigma humanistik, dan lain-lain). Ada kriteria yang berbeda
antara satu paradigma dengan paradigma lain, sehingga kebenaran tergantung pada
paradigma yang digunakan (paradigmatic).
Kuhn mengemukakan teori konsensus
atau paradigmatik berkaitan dengan konsep paradigma sebagai dasar atau model
yang diterima oleh kelompok ilmuwan dalam mengembangkan dan mengujia teorinya.
Teori ilmiah dengan demikian dianggap/dinyatakan benar kalau dapat disetujui
oleh komunitas ilmuwan pendukung paradigma tertentu.
BAB III
PENUTUTP
SIMPULAN
Dari penjelasan diatas, dapat kita
simpulkan bahwa teori ilmiah terdiri dari teori dan ilmiah. Teori yang
berartikan pengamatan sedangkan ilmiah adalah ilmu.
Sedangkan teori ilmiah dapat kita
ambil simpulan bahwa teori ilmiah adalah seperangkat pernyataan (dan definisi
dari sistem klasifikasi) yang disusun secara sistematis. Seperti dikemukakan
Rudner, teori adalah seperangkat pernyataan yang secara sistematis saling
berkaitan yang sesuai dengan metode dan prinsip keilmuan.
Dan teori ilmiah juga memiliki
sifat dasar antara lain : dapat dislahkan
dan bertahan dihadpan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah,
dapat dipertimbangkan jika dapat dibuktikan serta akan diterima sementara jika
dapat lulus secara ujian. Teori ilmiah juga harus didasarkan pengamatan yang
telit dan rasional akan fakta dan teroi ini juga bisa disebut fondasi
sementara.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin, 2013, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta
Latif, Mukhtar 2014, Filsafat
Ilm, Kencana, Jakarta
Peursen, Van, 1980, Susunan Ilmu Pengetahuan, P.T
GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, Jakarta.
Soetriono, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian, C.V ANDI OFFSET.
Yogyakarta.
Yusuf Lubis, Akhyar, 2014, Filsafat Ilmu Klasik hingga
Kontemporer, P.T Raja Grafindo persada, Jakarta